Bedakan Alergi Susu dan Intoleransi Laktosa pada Anak, Dua Kondisi yang Sering Disalahpahami

Seorang anak yang alergi terhadap susu sapi. Foto : Istimewa

FAKTA GRUP – Alergi susu dan intoleransi laktosa sering dianggap kondisi yang sama, padahal keduanya merupakan dua gangguan yang sangat berbeda meskipun keduanya berkaitan dengan konsumsi produk susu. Prof. Dr. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K), seorang konsultan Alergi Imunologi Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), menjelaskan perbedaan antara keduanya dalam webinar yang membahas topik “Apakah Alergi pada Anak Dapat Dicegah?” pada Kamis (7/11) lalu.

Menurut Zakiudin, alergi susu terjadi ketika sistem imun tubuh anak bereaksi terhadap protein yang ada dalam susu, seperti kasein atau whey. Reaksi imun ini bisa memicu gejala yang cukup serius, seperti ruam kulit, pembengkakan pada wajah atau sekitar mulut, gatal-gatal, bahkan muntah. Dalam beberapa kasus yang lebih berat, gejala tersebut bisa berkembang menjadi reaksi anafilaksis yang memerlukan penanganan medis segera.

Penting untuk dicatat bahwa alergi susu sering kali bersifat lebih serius dan bisa menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi kesehatan anak. Faktor genetik, terutama riwayat alergi dalam keluarga, dapat meningkatkan risiko anak mengembangkan alergi susu. Oleh karena itu, orang tua perlu memperhatikan dengan cermat gejala yang muncul setelah anak mengonsumsi produk susu.

Di sisi lain, intoleransi laktosa bukanlah reaksi imun, melainkan masalah pencernaan. Kondisi ini terjadi ketika tubuh kekurangan enzim laktase, enzim yang bertugas memecah laktosa, gula alami yang terkandung dalam susu.

Akibatnya, tubuh tidak bisa mencerna laktosa dengan baik, yang menimbulkan gejala pencernaan seperti diare, perut kembung, dan sakit perut setelah mengonsumsi susu atau produk susu lainnya.

“Intoleransi laktosa tidak melibatkan respons imun tubuh terhadap protein susu, seperti pada alergi susu. Anak dengan intoleransi laktosa umumnya hanya kesulitan mencerna laktosa, bukan protein susu,” jelas Zakiudin.

Intoleransi laktosa bisa terjadi pada siapa saja, tetapi lebih umum ditemukan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar. Berbeda dengan alergi susu, intoleransi laktosa tidak selalu menimbulkan gejala yang berat, dan anak yang mengalami kondisi ini masih bisa mengonsumsi produk susu dalam jumlah terbatas atau memilih produk yang rendah laktosa tanpa menimbulkan masalah berarti.

Untuk membantu mengurangi gejala pada anak dengan intoleransi laktosa, orang tua bisa memberikan susu rendah laktosa atau mengatur jumlah konsumsi susu yang diberikan. Gejala ringan sering kali bisa diredakan dengan pengaturan diet yang tepat.

Zakiudin mengingatkan orang tua bahwa jika anak mengalami gejala setelah mengonsumsi susu, baik itu ruam, muntah, atau gangguan pencernaan seperti diare atau kembung, sangat penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter. Diagnosis yang tepat akan membantu menentukan apakah gejala tersebut disebabkan oleh alergi susu, intoleransi laktosa, atau kondisi lainnya, sehingga pengobatan yang sesuai dapat diberikan.

“Melakukan pemeriksaan medis adalah langkah pertama yang penting untuk menentukan kondisi anak dengan tepat. Dengan penanganan yang benar, baik alergi susu maupun intoleransi laktosa dapat dikelola dengan baik,” tambahnya.

Penting bagi orang tua untuk memahami perbedaan antara kedua kondisi ini untuk memastikan bahwa anak menerima perawatan yang tepat dan bisa menghindari potensi masalah kesehatan yang lebih serius.