Hukum  

Anggota Baleg DPR: RUU Masyarakat Hukum Adat Harus Pastikan Penguatan Ekonomi Adat

RUU MHA: DPR Dorong Regulasi yang Berpihak ke Masyarakat
Aksi demo masyarakat adat yang menuntut segera disahkannya RUU MHA/net.

Faktamanado.id, NASIONAL – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menegaskan perlunya arah yang jelas dalam Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). Menurut Ledia, regulasi ini harus diarahkan untuk memastikan keberpihakan nyata kepada masyarakat adat. Keberpihakan itu harus mencakup aspek administratif maupun ekonomi.

Politisi Fraksi PKS ini menyebut, rancangan regulasi ini sudah dibahas sejak periode legislatif sebelumnya. Namun, RUU ini belum berlanjut sebagai carry over karena merupakan inisiatif DPR.

“Dari sisi legislasi, kita harus memastikan bahwa RUU ini benar-benar berpihak dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat,” ujar Ledia, Sabtu ().

Kekaburan Definisi dan Pentingnya Pencatatan Administratif

Ledia menilai, salah satu persoalan krusial yang harus dirumuskan secara tegas adalah definisi dan pencatatan masyarakat hukum adat. Ia menyoroti belum adanya keseragaman pemahaman antar-lembaga pemerintah. Hal ini terkait terminologi seperti desa adat, desa budaya, dan kampung adat.

“Harus ada kejelasan definisi terlebih dahulu. Selama ini, istilah-istilah itu sering dipahami berbeda oleh lembaga pemerintah. Jika tidak diatur tegas dalam RUU, hal itu bisa menimbulkan persoalan administratif maupun klaim wilayah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ledia menekankan pentingnya pencatatan administratif. Pencatatan ini menjadi dasar pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Tentu saja, pencatatan ini harus dilakukan tanpa menghapus kearifan lokal yang mereka miliki.

“Negara perlu mengakui mereka secara administratif, namun kita tidak boleh memaksakan masyarakat adat masuk dalam struktur pemerintahan daerah yang formal,” tegasnya.

RUU MHA: Jembatan Menuju Penguatan Ekonomi Adat

Dalam dimensi ekonomi, RUU Masyarakat Hukum Adat ini harus berperan lebih dari sekadar penyesuaian regulasi investasi. Ledia mengingatkan agar regulasi yang dirancang tidak sekadar menyesuaikan dengan orientasi investasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi ini justru harus memberi ruang Penguatan Ekonomi Adat dan ekonomi kerakyatan masyarakat adat.

Ledia mencontohkan masalah administratif.

“Memang ada kelompok masyarakat adat yang telah mendirikan perseroan terbatas dan mendaftar melalui OSS. Tetapi bagaimana dengan yang belum memiliki pendampingan?” tanyanya.

Ia melihat ini sebagai pekerjaan besar. Tujuannya adalah memastikan mereka tetap bisa tumbuh tanpa terhambat aturan administratif yang memberatkan.

Ledia mendorong adanya perubahan paradigma. Ia menilai, masyarakat adat tidak boleh terus ditempatkan sebagai kelompok marginal. Sebaliknya, mereka harus dilihat sebagai subjek pembangunan dengan potensi ekonomi yang besar.

“Saya percaya setiap komunitas adat memiliki potensi masing-masing. Yang dibutuhkan adalah pendampingan dan jembatan antara ekonomi ekstraktif dan ekonomi kerakyatan. Beberapa koalisi masyarakat sipil sudah memulai hal itu, dan negara harus hadir memperkuatnya,” pungkasnya.

Keberhasilan RUU MHA akan ditentukan oleh arah keberpihakan regulasi pemerintah terhadap kemandirian masyarakat adat.

(*Drw)